Subscribe

Monday, March 16, 2009

Makna Al_Bai'i (Jual-Beli)


AL-BAI' (JUAL-BELI)


Pengertian Jual Beli

Menurut etimologi, jual beli diartikan pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijaarah. Berkenaan dengan at-tijaarah, dalam QS. Al-Fahir : 29 yang artinya: “Mereka mengharapkan tijaarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”

Adapun jual-beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

1. Menurut ulama Hanafiyah:

Menurut ulama Hanafiyah, al-ba’i adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus yang dibolehkan. Selain itu, mereka juga mendefinisikan al-ba’i sebagai tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

2. Menurut Imam Nawawi

Dalam kitab al-Majmu’, Imam Nawawi mengartikan al-ba’i sebagai pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.

3. Menurut mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali

Menurut mazhab-mazhab tersebut, al-ba’i adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.

Definisi-definisi yang disebutkan di atas menekankan pada aspek milik pemilikan, karena sebagai mana kita ketahui bahwa ada pula tukar menukar harta/barang yang sifatnya bukan pemilikan, seperti sewa menyewa.

Landasan Syara’

Jual-beli disyariatkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, dan juga Ijma’, yakni:

1. Al-Qur’an, di antaranya adalah surat al_baqarah:275, yang berarti


Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”

(QS. Al-Baqarah:275)

2. As-Sunnah

Hadits yang diriwayatkan dari bajjaj, yang kemudian dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah Ibn Rafi’, yang artinya berbunyi:

“Nabi SAW. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab: ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur’.”

Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu danmerugikan orang lain.

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. pun bersabda: pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, para Siddiqin dan para Syuhada’.

3. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alas an bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti (ditukar) dengan barang lainnya yang sesuai.

Hukum dan Sifat Jual-Beli

Asal hukum jual-beli adalah mubah (boleh). Namun bila ditinjau lebih jauh lagi, jumhur ulama membagi jual-beli menjadi dua macam:

1. Jual-beli kategori sah (shahih). Yaitu jual-beli yang memenuhi ketentuan syara’ baik rukun maupun syaratnya.

2. Jual-beli kategori tidak sah. Yaitu jual-beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual-beli tersebut menjadi rusak (fasid) atau batal.

Berkenaan dengan rusak dan batal, jumhur ulama berpendapat bahwa dua kata tersebut mempunyai arti yang sama. Akan tetapi, ulama Hanafi membedakan arti kedua kata tersebut. Ulama Hanafiyah membagikan jual-beli ke dalam:

  1. Jual-beli shahih, yaitu jual-beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjual-belikan menjadi milik yang melakukan akad.
  2. Jual-beli batal, yaitu jual-beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual-beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
  3. Jual-beli rusak, yaitu jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesyai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan peretntangan.

Namun demikian, perbedaan antara jumhur ulama dengan ulama hanafiyah tersebut hanyalah dalam masalah mu’amalah. Sedangkan dalam masalah ibadah mereka tetap sepakat mengenai kesamaan arti antara batal dan rusak (fasid).

Rukun dan Pelaksanaan Jual-Beli

Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli adalah Ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan

Adapun menurut jumhur ulama, rukun jual-beli itu ada empat, yaitu:

  1. Ba’i (penjual)
  2. Mustari (pembeli)
  3. Shigat (ijab dan qabul)
  4. Ma’qud ‘alaih (baenda atau barang).

Syarat Jual-Beli

Dalam jual-beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya aqad (in’iqad), syarat sahnya aqad, syarat terlaksananya aqad (nafadz), dan syarat kemestian (lujum).

Secara umum, tujuan dari adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang aqad, menghindari jual-beli gharar, dan lain-lain.

Di antara ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual-beli. Berikut pembahasan mengenai hal tersebut:

1. Menurut ulama Hanafiyah

Persyaratan yang ditetapkan ulama Hanafiyah berkaitan dengan syarat jual-beli adalah:

a. Syarat Terjadinya Aqad (In’iqad)

Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka jual-beli batal. Tentang syarat ini ulama hanafiyah menetapkan empat syarat, yakni:

1. Syarat ‘Aqid (orang yang ’aqad)

‘Aqid harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Berakal dan Mumayyiz

Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum terbagi tiga, yaitu:

§ Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah.

§ Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh anak kecil.

§ Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemudharatan, yaitu aktivitas yang boleh dilakukan tetapi atas seizing wali.

b. Aqid harus berbilang, sehingga tidaklah sah aqad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan oleh dua orang, yaitu penjual dan pembeli.

2. Syarat dalam Aqad.

Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul. Nmaun demiian, dalam ijab-qabul terdapat syarat berikut:

a. Ahli aqad

Menurut ulama Hanfiyah, seorang anak yang berakal dan mumayyiz (berumur tujuh tahun, tetapi belum baligh) dapat menjadi ahli aqad. Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah berpendapat bahwa aqad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, anak mumayyiz yang belum baligh tidak dibolehkan melakukan aqad sebab dia belum dapat menjaga agama dan hartanya (masih bodoh).

b. Qabul harus sesuai dengan ijab

c. Ijab dan qabul harus bersatu (berhubungan walaupuntempatnya tidak bersatu).

3. Tempat Aqad

Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.

4. Ma’qud ‘Alaih (Objek Aqad)

Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi empat syarat:

a. Ma’qud ‘Alaih harus ada, tidak boleh aqad atas barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual-beli buah yang tidak tampak, atau jual-beli hewan yang masih berada dalam kandunngan induknya.

b. Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.

c. Benda tersebut milik sendiri.

d. Dapat diserahkan.

b. Syarat Pelaksanaan Aqad (Nafadz)

1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk aqad

2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain.

c. Syarat Sah Aqad

Syarat ini terbagi dua, yaitu:

1. Syarat umum

Adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual-beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas tadi. Juga harus terhindar dari kecacatan jual-beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemudharatan, dan yang merusak lainnya.

2. Syarat khusus.

Adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang tertentu. Jual-beli ini harus memenuhi persyaratan berikut:

a. Barang yang diperjual-belikan harus dapat dipegang.

b. Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.

c. Serah terima benda harus dilakukan sebelum berpisah

d. Terpenuhi syarat penerimaan

e. Harus seimbang dalam ukuran timbangan pada jual beli yang demikian.

f. Barang yang diperjual-belikan sudah menjadi tanggung jawabnya.

d. Syarat Lujum (kemestian)

Syarat ini hanya ada satu, yaitu aqad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiyar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang aqad dan akan menyebabkan batalnya aqad.

2. Menurut Madzhab Maliki

Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang berkenaan dengan aqid, sighat, dan ma’qud ‘alaih, berjumlah 11 syarat:

a. Syarat Aqid

Adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini terdapat tiga syarat ditambah satu bagi penjual:

  1. Penjual dan pembeli harus mumayyiz
  2. Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
  3. Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual-beli berdasarkan paksaan tidaklah sah
  4. Penjual harus sadar dan dewasa.

Ulama Malilkiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi si aqid, kecuali dalam hal membeli hamba yang muslim atau membeli mushaf. Jual beli orang buta adalah sahih menurut pendapat mereka.

b. Syarat dalam shighat

  1. Tempat aqad harus bersatu
  2. Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah.

c. Syarat harga dan yang dihargakan.

  1. Bukan barang yang dilarang syara’
  2. Harus suci
  3. Bermanfaat menurut pandangan syara’
  4. Dapat diketahui oleh kedua orang yang aqad
  5. Dapat diserahkan.

3. Menurut Madzhab Syafi’i

Ulama syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih. Persyaratan tersebut adalah:

a. Syarat Aqid

1. Dewasa atau sadar.

Aqid harus baligh dan berakal, menyadari dan mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, aqad anak yang baelum mumayyiz dipandang belum sah.

2. Tidak dipaksa atau tanpa hak

3. Islam

4. Pembeli bukan musuh


b. Syarat shighat

1. Berhadap-hadapan (harus sesuai dengan orang yang dituju, ex: arah & namanya).

2. Ditujukan pada seluruh badan yang aqad. Tidak sah mengatakan, “saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”.

3. Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab.

4. Harus menyebutkan barang atau harga.

5. Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud).

6. Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna. Jika seseorang yang sedang bertransaksi tersebut gila sebelum mengucapkan qabul, maka jual-beli yang mereka lakukan batal.

7. Ijab dan qabul tidak terpisah.

8. Anatara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain.

9. Tidak berubah lafadz. Lafadz ijab tidak boleh berubah, seperti eprkataan, “saya jual barang ini lima ribu”, kemudian beberapa saat kemudian ia mengatakan, “saya jual barang ini sepuluh ribu”, padahal barangnya tidak berubah (sama dengan barang sebelumnya).

10. Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna.

11. Tidak dikaitkan dengan sesuatu (yang tidak ada hubungannya dengan aqad).

12. Tidak dikaitkan dengan waktu.

c. Syarat ma’qud ‘alaih

1. Suci. 4. Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.

2. Bermanfaat. 5. Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang ber’aqad

3. Dapat diserahkan.

4. Menurut Madzhab Hambali

Manurut ulama Hanbaliah, persyaratan jual-beli terdiri atas 11 syarat, baik dalam ‘aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih.

a. Syarat ‘aqid

1. Dewasa

Aqid harus orang yang dewasa (baligh dan berakal), kecuali pada jual-beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur kemaslahatan.

2. Ada keridhaan.

Masing-masing aqid harus saling meridhai, tidak ada unsur paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh mereka yang memiliki otoritas untuk itu, seperti hakim atau penguasa. Ulama Hanbaliyah menghukumi makruh bila terdapat unsur paksaan atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di luar harga lazim.

b. Syarat shighat.

1. Berada di tempat yang sama.

2. Tidak terpisah.

3. Tidak dikaitkan dengan sesuatu.

c. Syarat ma’qud ‘alaih

1. Harus berupa harta.

Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa, misalnya khamar hanyalah dibolehkan ketika susahnya mendapatkan air. Adapun jual-beli al-Qur’an, mereka mengharamkannya, karena menurut mereka al-qur’an adalah untuk diagungkan, sedangkan menjual-belikannya bukanlah mengagungkannya.

2. Milik penjual secara sempurna.

3. Barang dapat diserahkan ketika aqad

4. Barang diketahui oleh penjual dan pembeli.

5. Harga diketahui oleh kedua pihak yang ber’aqad

6. Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan aqad tidak sah (seperti adanya unsur riba).

D. Jual-Beli Yang Dilarang Dalam Islam.

Berkenaan dengan jual-beli terlarang dalam Islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut:

a. Terlarang sebab ahliah (ahli aqad)

1. Jual-beli orang gila

2. Jual-beli anak kecil

3. Jual-beli orang buta

4. Jual beli terpaksa

5. Jual-beli fudhul, jual-beli milik orang lain tanpa seizing pemiliknya

6. Jual-beli orang terhalang

7. Jual-beli malja, yaitu jual-beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan dzalim.

b. Terlarang sebab shighat.

1. Jual-beli mua’thah, yaitu jual-beli yang telah disepakati oleh pihak aqad, berkenan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab-qabul.

2. Jual-beli melalui surat atau utusan

3. Jual-beli dengan isyarat atau dengan tulisan

4. Jual-beli barang yang tidak ada di tempat aqad

5. Jual-beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul

6. Jual-beli munjidz, yaitu yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.

c. Terlarang sebab ma’qud ‘alaih

1. Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada

2. Jual-beli barang yang tidak dapat diserahkan

3. Jual-beli gharar

4. Jual-beli barang najis dan yang terkena najis

5. Jual-beli air

6. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul).

7. Jual-beli barang yang tidak ada di tempat aqad (ghaib), tidak dapat dilihat

8. Jual-beli sesuatu sebelum dipegang

9. Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan yang tidak jelas.

d. Terlarang sebab syara’

1. Jual-beli riba

2. Jual-beli dengan uang dari barang yang diharamkan

3. Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang

4. Jual-beli waktu adzan Jum’at

5. Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar

6. Jual-beli induk tanpa anaknya yang masih kecil (untuk hewan)

7. Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain

No comments:

Post a Comment