Subscribe

Tuesday, March 31, 2009

Al-Mal (Harta)

A. Pengertian

Secara etimologi, harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak (yakni manfa’at) seperti seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tingggal.
Sesuatu yang tidak dikuasai manusia tidak bias dinamakan harta menurut bahasa, seperti burung di udara, ikan di dalam air, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi.
Harta, yang dalam bahasa Arab disebut al-Mal mempunyai arti condong, cenderung dan miring. Manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta.

Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi dalam dua pendapat:
1. Menurut Ulama Hanafiyah
Golongan ini berpendapat bahwa harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan.
Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur, yaitu:
 Harta dapat dikuasai dan dipelihara
Sesuatu yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.

 Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan.
Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak dapat disebut harta, atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan sesuatu yang lain.

2. Menurut Jumhur Ulama Fiqih Selain Hanafiyah
Menurut mereka, harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.
Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih banyak dipeganng di kalangan masyarakat (umum).
Jadi, perbedaan esensi harta antara ulama Hanafiyah dan Jumhur:
1. Bagi jumhur ulama harta tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di dalamnya.
2. Adapun menurut ulama mazhab Hanafi harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian hak milik. (Meskipun demikian ada sebagian dari pengikut mazhab ini mengikuti pendapat Jumhur).

B. Pembagian Harta dan Akibat Hukumnya
Ulama fiqih membagi harta menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum, di antaranya:

1. Berdasarkan Kebolehan Memanfaatkan
 Harta Muttaqawwim berarti segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya, seperti macam-macam benda yang tidak bergerak, yang bergerak, dan lain-lain. (Halal untuk dimanfaatkan).

 Harta Ghair Muttaqawwim, yang berarti sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang syara’ untuk memanfaatkannya, kecuali dalam keadaan mudharat, seperti khamar. (Tidak halal untuk dimanfaatkan/tidak dianggap sebagai harta).

Implikasi dari keduanya:
 Tidak dibolehkannya umat Islam menjadikan harta Ghairu Muttaqawwim sebagai objek transaksi.

 Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi apabila mereka merusak atau melenyapkan harta Ghairu Muttaqawwim.

Menurut ulama Hanafiyah, keduanya dipandang sebagai harta Muttaqawwim oleh non-muslim (kafir Dzimmi/kafir yang tidak mengganggu ketenteraman umat Islam setempat). Oleh karena itu, oleh karena itu umat Islam yang merusaknya harus bertanggung jawab. Adapun menurut jumhur, harta Ghair Muttaqawwim tetap dipandang Muttaqawwim, sebab umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam. Dengan demikian, umat Islam tidak perlu bertanggung jawab jika merusaknya.

Faedah Pembagian:

a. Sah dan Tidaknya Akad
Harta Muttaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas mu’amalah , seperti hibah, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Sedangkan harta Ghair Muttaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermu’amalah. Penjualan khamar, babi, dan sejenisnya yang diharamkan apabila dilakukan oleh umat Isalam maka hukumnya adalah batal.Adapun pembelian sesuatu dengan barang-barang haram adalah fasid (rusak). Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah.

b. Tanggung Jawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta Muttaqawwim, ia bertanggung jawab untuk menggantinya. Akan tetapi jika ia merusak harta Ghair Muttaqawwim, ia tidak bertanggung jawab. Menurut ulama Hanafiyah, dalam hal merusak Ghair Muttaqawwim, ia tetap bertanggung jawab sebab harta tersebut dipandang Muttaqawwim oleh non-muslim. Adapun selain Hanfiyah berpendapat bahwa, harta Ghair Muttaqawwim tetap dipandang Muttaqawwim sebab umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.

2. Berdasarkan Jenisnya
 Manqul
 ‘Aqar
a. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah:

 Manqul, berarti harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula, ataupun berubah bentuk dan keadaannya disebabkan karena perpindahan dan perubahan tersebut. Hal ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan yang halal diperjual-belikan, benda-benda yang ditimbang dan diukur.

 ‘Aqar, yang artinya adalah harta tetap, yang tidak mungkin diubah dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, seperti rumah, dan barang-barang lain yang telah membumi.

Menurut ulama Hanafiyah, bangunan dan tanaman tidaklah termasuk ‘aqar, kecuali kalau keduanya menyatu dengan bumi (tanah). Dengan demikian, jika menjual tanah yang di atasnya ada bangunan atau tanaman, maka bangunan dan tanaman serta benda-benda lain yang ikut menempel di tanah tersebut dihukumi ‘aqar. Sebaliknya, apabila hanya menjual bangunan atau tanamannya saja, maka tidak dihukumi ‘aqar, sebab ‘aqar menurut ulama Hanafiyah hanyalah tanah (bumi), sedangkan selain itu adalah harta manqul.

b. Menurut ulama malikiyah
Ulama Malikiyah menyempitkan cakupan manqul memperluas pengertian ‘aqar, yaitu:
 Manqul, adalah harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan tidak berubah bentuk dan keadaannya seperti pakaian, buku, dan sebagainya.

 ‘Aqar, adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dan diubah dari asalnya, seperti tanah, atau mungkin dapat dipindahkan dan diubah dan terjadi perubahan pada bentuk dan keadaannya ketika dipindahkan, seperti rumah dan pohon (tanaman). Rumah setelah diruntuhkan berubah menjadi rusak, dan pohon berubah menjadi kayu.

Faedah Pembagian:
a. Menurut ulama hanafiyah, tidak sah wakaf kecuali pada harta ‘aqar atau sesuatu yang ikut pada harta ‘aqar. Sebaliknya jumhur ulama berpendapat bahwa harta ‘aqar dan anqul dapat di wakafkan.

b. Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, dengan menyalahi ulama fikih lainnya, berpendapat dibolehkan menjual ‘aqar yang belum diterima atau dipegang oleh pembeli pertama, sedangkan maqul dilarang menjualnya sebelum dipegang atau diserahkan kepada pembeli.

3. Berdasarkan Ada dan Tidaknya Di Pasaran
 Harta al-Mitsli, adalah harta yang memiliki persamaan dan kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan dan kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.
Harta al-Mitsli terbagi atas empat bagian, yaitu:
a. harta yang ditakar, seperti gandum,
b. harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi,
c. harta yang dihitung, seperti telur, dan
d. harta yang dijual dengan satuan meter, seperti pakaian dan lain-lain.

 Harta al-Qimi, adalah harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar, atau mempunyai persamaan tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan pada satuannya dalam hal kualitas, seperti satuan pepohonan, logam mulia, binatang, atau peralatan rumah tangga.

Faedah Pembagian:
a. Pada harta al-qimi tidak mungkin terjadi riba, karena jenis satuannya tidak sama, namun pada harta al-mitsli bisa berlaku transaksi yang menjurus pada riba.

b. Dalam suatu perserikatan harta yang bersifat al-misli, seorang mitra serikat boleh mengambil bagiannya ketika mitra dagangnya sedang tidak di tempat. Akan tetapi pada harta yang bersifat al-qimi, masing-masing pihak tidak boleh mengambil bagiannya selama pihak lainnya tidak berada di tempat.

c. Apabila harta yang bersifat al-misli dirusak seseorang dengan sengaja, maka wajib diganti dengan harta sejenis, namun apabila pengrusakan dengan sengaja terhadap harta yang bersifat al-qimi harus diganti dengan memperhitungkan nilainya


4. Berdasarkan Segi Pemanfaatannya
 Harta Istihlaki, adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak zatnya. Misalnya makanan, minuman, kayu baker, sabun, dan lain-lain.

 Harta Isti’mali, adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tanpa merusak zatnya (zatnya tetap). Harta ini bisa kita contohkan dengan rumah, tempat tidur, pakaian, buku, dan lain sebagainya.

5. Berdasarkan Status Harta
 Harta al-Mamluk, adalah harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi maupun badan hokum.

 Harta al-Mubah, adalah harta yang tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan, kayu di hutan beserta buah-buahannya, dan lain-lain.

 Harta al-Mahjur, adalah harta yang dilarang syara’ untuk memilikinya, baik karena harta itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum.

Faedah Pembagian:
a. Harta yang boleh didaya gunakan (tasharuf) oleh seseorang adalah harta al-mamluk.
b. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta al-mubah sesuai kemampuan dan usahanya yang dibenarkan oleh syara’. Dengan demikian, maka harta tersebut akan menjadi miliknya, seperti orang yang menghidupkan atau memakmurkan tanah yang tidak ada pemiliknya. Hal ini telah dibenarkan oleh syara’.

6. Berdasarkan Bisa Dibagi Atau Tidaknya
 Harta yang dapat dibagi, yaitu harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagikan, seperti beras, tepung, dan lain-lain.

 Harta yang tidak dapat dibagi-bagi, yaitu harta yang menimbulkan kerugian atau kerugian apabila dibagi-bagi, seperti piring, mesin, dan lain-lain.

7. Berdasarkan Bentuk dan Nilainya
 Harta ‘Ain, yaitu harta yang berbentuk benda, seperti meja, kursi, kendaraan, dll.
Harta ‘Ain ini terbagi dua:
a. Harta ‘ain dzati qimmah, adalah benda yang memiliki bentuk dan nilai, yang meliputi:
 benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya atau tidak;
 benda yang dianggap harta yang ada atau tidak ada sebangsanya;
 benda yang dianggap harta yang dapat atau tidak dapat bergerak.

b. Harta ghair dzati qimmah, adalah benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, seperti sebutir beras.
 Harta Dain, yaitu sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.
Menurut ulama Hanafiyah, harta tidak dapat dibagi menjadi dua bentuk tersebut, sebab harta –sebagaimana telah disebutkan- haruslah sesuatu yang berwujud atau berbentuk. Utang menurut ulama Hanafiyah tidaklah termasuk harta, tetapi bagian dari tanggung jawab.

8. Berdasarkan Berkembang Atau Tidaknya
 Harta Pokok (al-Mal al-Ashl), adalah harta yang menyebabkan adanya harta yang lain
 Harta Hasil (Tsamaroh), yaitu harta yang terjadi dari harta yang lain.
Di antara contoh harta pokok adalah sapi, dan harta hasil adalah susu atau daging. Harta pokok ini dapat disebut modal.

Implikasi Hukumnya:
a. Pokok harta wakaf tidak bisa dibagi-bagikan kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi buah atau hasil darinya dapat dibagikan kepada mereka.
b. Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum asalnya tidak bisa dibagi-bagikan, tetapi hasilnya bisa dimiliki siapapun.
c. Dalam suatu transaksi yang objeknya manfaat benda, maka pemilik manfaat itu berhak atas hasilnya. Misalnya, apabila seseorang menyewa sebuah rumah yang secara kebetulan di pekarangan rumahnya tersebut ada pohon yang sedang berbuah, maka buah tersebut menjadi milik penyewa rumah dan ia boleh memperjual-belikannya kepada orang lain.
9. Berdasarkan Kepemilikannya
 Harta Khas (khusus), adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain. Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan seenaknya kecuali atas kehendak atau seizin pemiliknya.
 Harta ‘Am (Umum), adalah harta milik umum atau bersama, semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh umum atau penguasa.