Subscribe

Tuesday, March 31, 2009

Al-Mal (Harta)

A. Pengertian

Secara etimologi, harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak (yakni manfa’at) seperti seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tingggal.
Sesuatu yang tidak dikuasai manusia tidak bias dinamakan harta menurut bahasa, seperti burung di udara, ikan di dalam air, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi.
Harta, yang dalam bahasa Arab disebut al-Mal mempunyai arti condong, cenderung dan miring. Manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta.

Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi dalam dua pendapat:
1. Menurut Ulama Hanafiyah
Golongan ini berpendapat bahwa harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan.
Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur, yaitu:
 Harta dapat dikuasai dan dipelihara
Sesuatu yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.

 Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan.
Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak dapat disebut harta, atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan sesuatu yang lain.

2. Menurut Jumhur Ulama Fiqih Selain Hanafiyah
Menurut mereka, harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.
Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih banyak dipeganng di kalangan masyarakat (umum).
Jadi, perbedaan esensi harta antara ulama Hanafiyah dan Jumhur:
1. Bagi jumhur ulama harta tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di dalamnya.
2. Adapun menurut ulama mazhab Hanafi harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian hak milik. (Meskipun demikian ada sebagian dari pengikut mazhab ini mengikuti pendapat Jumhur).

B. Pembagian Harta dan Akibat Hukumnya
Ulama fiqih membagi harta menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum, di antaranya:

1. Berdasarkan Kebolehan Memanfaatkan
 Harta Muttaqawwim berarti segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya, seperti macam-macam benda yang tidak bergerak, yang bergerak, dan lain-lain. (Halal untuk dimanfaatkan).

 Harta Ghair Muttaqawwim, yang berarti sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang syara’ untuk memanfaatkannya, kecuali dalam keadaan mudharat, seperti khamar. (Tidak halal untuk dimanfaatkan/tidak dianggap sebagai harta).

Implikasi dari keduanya:
 Tidak dibolehkannya umat Islam menjadikan harta Ghairu Muttaqawwim sebagai objek transaksi.

 Bebasnya umat Islam dari tuntutan ganti rugi apabila mereka merusak atau melenyapkan harta Ghairu Muttaqawwim.

Menurut ulama Hanafiyah, keduanya dipandang sebagai harta Muttaqawwim oleh non-muslim (kafir Dzimmi/kafir yang tidak mengganggu ketenteraman umat Islam setempat). Oleh karena itu, oleh karena itu umat Islam yang merusaknya harus bertanggung jawab. Adapun menurut jumhur, harta Ghair Muttaqawwim tetap dipandang Muttaqawwim, sebab umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam. Dengan demikian, umat Islam tidak perlu bertanggung jawab jika merusaknya.

Faedah Pembagian:

a. Sah dan Tidaknya Akad
Harta Muttaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas mu’amalah , seperti hibah, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Sedangkan harta Ghair Muttaqawwim tidak sah dijadikan akad dalam bermu’amalah. Penjualan khamar, babi, dan sejenisnya yang diharamkan apabila dilakukan oleh umat Isalam maka hukumnya adalah batal.Adapun pembelian sesuatu dengan barang-barang haram adalah fasid (rusak). Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah.

b. Tanggung Jawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta Muttaqawwim, ia bertanggung jawab untuk menggantinya. Akan tetapi jika ia merusak harta Ghair Muttaqawwim, ia tidak bertanggung jawab. Menurut ulama Hanafiyah, dalam hal merusak Ghair Muttaqawwim, ia tetap bertanggung jawab sebab harta tersebut dipandang Muttaqawwim oleh non-muslim. Adapun selain Hanfiyah berpendapat bahwa, harta Ghair Muttaqawwim tetap dipandang Muttaqawwim sebab umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.

2. Berdasarkan Jenisnya
 Manqul
 ‘Aqar
a. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah:

 Manqul, berarti harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula, ataupun berubah bentuk dan keadaannya disebabkan karena perpindahan dan perubahan tersebut. Hal ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan yang halal diperjual-belikan, benda-benda yang ditimbang dan diukur.

 ‘Aqar, yang artinya adalah harta tetap, yang tidak mungkin diubah dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, seperti rumah, dan barang-barang lain yang telah membumi.

Menurut ulama Hanafiyah, bangunan dan tanaman tidaklah termasuk ‘aqar, kecuali kalau keduanya menyatu dengan bumi (tanah). Dengan demikian, jika menjual tanah yang di atasnya ada bangunan atau tanaman, maka bangunan dan tanaman serta benda-benda lain yang ikut menempel di tanah tersebut dihukumi ‘aqar. Sebaliknya, apabila hanya menjual bangunan atau tanamannya saja, maka tidak dihukumi ‘aqar, sebab ‘aqar menurut ulama Hanafiyah hanyalah tanah (bumi), sedangkan selain itu adalah harta manqul.

b. Menurut ulama malikiyah
Ulama Malikiyah menyempitkan cakupan manqul memperluas pengertian ‘aqar, yaitu:
 Manqul, adalah harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan tidak berubah bentuk dan keadaannya seperti pakaian, buku, dan sebagainya.

 ‘Aqar, adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dan diubah dari asalnya, seperti tanah, atau mungkin dapat dipindahkan dan diubah dan terjadi perubahan pada bentuk dan keadaannya ketika dipindahkan, seperti rumah dan pohon (tanaman). Rumah setelah diruntuhkan berubah menjadi rusak, dan pohon berubah menjadi kayu.

Faedah Pembagian:
a. Menurut ulama hanafiyah, tidak sah wakaf kecuali pada harta ‘aqar atau sesuatu yang ikut pada harta ‘aqar. Sebaliknya jumhur ulama berpendapat bahwa harta ‘aqar dan anqul dapat di wakafkan.

b. Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, dengan menyalahi ulama fikih lainnya, berpendapat dibolehkan menjual ‘aqar yang belum diterima atau dipegang oleh pembeli pertama, sedangkan maqul dilarang menjualnya sebelum dipegang atau diserahkan kepada pembeli.

3. Berdasarkan Ada dan Tidaknya Di Pasaran
 Harta al-Mitsli, adalah harta yang memiliki persamaan dan kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan dan kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.
Harta al-Mitsli terbagi atas empat bagian, yaitu:
a. harta yang ditakar, seperti gandum,
b. harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi,
c. harta yang dihitung, seperti telur, dan
d. harta yang dijual dengan satuan meter, seperti pakaian dan lain-lain.

 Harta al-Qimi, adalah harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar, atau mempunyai persamaan tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan pada satuannya dalam hal kualitas, seperti satuan pepohonan, logam mulia, binatang, atau peralatan rumah tangga.

Faedah Pembagian:
a. Pada harta al-qimi tidak mungkin terjadi riba, karena jenis satuannya tidak sama, namun pada harta al-mitsli bisa berlaku transaksi yang menjurus pada riba.

b. Dalam suatu perserikatan harta yang bersifat al-misli, seorang mitra serikat boleh mengambil bagiannya ketika mitra dagangnya sedang tidak di tempat. Akan tetapi pada harta yang bersifat al-qimi, masing-masing pihak tidak boleh mengambil bagiannya selama pihak lainnya tidak berada di tempat.

c. Apabila harta yang bersifat al-misli dirusak seseorang dengan sengaja, maka wajib diganti dengan harta sejenis, namun apabila pengrusakan dengan sengaja terhadap harta yang bersifat al-qimi harus diganti dengan memperhitungkan nilainya


4. Berdasarkan Segi Pemanfaatannya
 Harta Istihlaki, adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak zatnya. Misalnya makanan, minuman, kayu baker, sabun, dan lain-lain.

 Harta Isti’mali, adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tanpa merusak zatnya (zatnya tetap). Harta ini bisa kita contohkan dengan rumah, tempat tidur, pakaian, buku, dan lain sebagainya.

5. Berdasarkan Status Harta
 Harta al-Mamluk, adalah harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi maupun badan hokum.

 Harta al-Mubah, adalah harta yang tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan, kayu di hutan beserta buah-buahannya, dan lain-lain.

 Harta al-Mahjur, adalah harta yang dilarang syara’ untuk memilikinya, baik karena harta itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum.

Faedah Pembagian:
a. Harta yang boleh didaya gunakan (tasharuf) oleh seseorang adalah harta al-mamluk.
b. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta al-mubah sesuai kemampuan dan usahanya yang dibenarkan oleh syara’. Dengan demikian, maka harta tersebut akan menjadi miliknya, seperti orang yang menghidupkan atau memakmurkan tanah yang tidak ada pemiliknya. Hal ini telah dibenarkan oleh syara’.

6. Berdasarkan Bisa Dibagi Atau Tidaknya
 Harta yang dapat dibagi, yaitu harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagikan, seperti beras, tepung, dan lain-lain.

 Harta yang tidak dapat dibagi-bagi, yaitu harta yang menimbulkan kerugian atau kerugian apabila dibagi-bagi, seperti piring, mesin, dan lain-lain.

7. Berdasarkan Bentuk dan Nilainya
 Harta ‘Ain, yaitu harta yang berbentuk benda, seperti meja, kursi, kendaraan, dll.
Harta ‘Ain ini terbagi dua:
a. Harta ‘ain dzati qimmah, adalah benda yang memiliki bentuk dan nilai, yang meliputi:
 benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya atau tidak;
 benda yang dianggap harta yang ada atau tidak ada sebangsanya;
 benda yang dianggap harta yang dapat atau tidak dapat bergerak.

b. Harta ghair dzati qimmah, adalah benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, seperti sebutir beras.
 Harta Dain, yaitu sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.
Menurut ulama Hanafiyah, harta tidak dapat dibagi menjadi dua bentuk tersebut, sebab harta –sebagaimana telah disebutkan- haruslah sesuatu yang berwujud atau berbentuk. Utang menurut ulama Hanafiyah tidaklah termasuk harta, tetapi bagian dari tanggung jawab.

8. Berdasarkan Berkembang Atau Tidaknya
 Harta Pokok (al-Mal al-Ashl), adalah harta yang menyebabkan adanya harta yang lain
 Harta Hasil (Tsamaroh), yaitu harta yang terjadi dari harta yang lain.
Di antara contoh harta pokok adalah sapi, dan harta hasil adalah susu atau daging. Harta pokok ini dapat disebut modal.

Implikasi Hukumnya:
a. Pokok harta wakaf tidak bisa dibagi-bagikan kepada yang berhak menerima wakaf, tetapi buah atau hasil darinya dapat dibagikan kepada mereka.
b. Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum asalnya tidak bisa dibagi-bagikan, tetapi hasilnya bisa dimiliki siapapun.
c. Dalam suatu transaksi yang objeknya manfaat benda, maka pemilik manfaat itu berhak atas hasilnya. Misalnya, apabila seseorang menyewa sebuah rumah yang secara kebetulan di pekarangan rumahnya tersebut ada pohon yang sedang berbuah, maka buah tersebut menjadi milik penyewa rumah dan ia boleh memperjual-belikannya kepada orang lain.
9. Berdasarkan Kepemilikannya
 Harta Khas (khusus), adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain. Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan seenaknya kecuali atas kehendak atau seizin pemiliknya.
 Harta ‘Am (Umum), adalah harta milik umum atau bersama, semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh umum atau penguasa.

Monday, March 16, 2009

Makna Al_Bai'i (Jual-Beli)


AL-BAI' (JUAL-BELI)


Pengertian Jual Beli

Menurut etimologi, jual beli diartikan pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijaarah. Berkenaan dengan at-tijaarah, dalam QS. Al-Fahir : 29 yang artinya: “Mereka mengharapkan tijaarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”

Adapun jual-beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

1. Menurut ulama Hanafiyah:

Menurut ulama Hanafiyah, al-ba’i adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus yang dibolehkan. Selain itu, mereka juga mendefinisikan al-ba’i sebagai tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

2. Menurut Imam Nawawi

Dalam kitab al-Majmu’, Imam Nawawi mengartikan al-ba’i sebagai pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.

3. Menurut mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali

Menurut mazhab-mazhab tersebut, al-ba’i adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.

Definisi-definisi yang disebutkan di atas menekankan pada aspek milik pemilikan, karena sebagai mana kita ketahui bahwa ada pula tukar menukar harta/barang yang sifatnya bukan pemilikan, seperti sewa menyewa.

Landasan Syara’

Jual-beli disyariatkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, dan juga Ijma’, yakni:

1. Al-Qur’an, di antaranya adalah surat al_baqarah:275, yang berarti


Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”

(QS. Al-Baqarah:275)

2. As-Sunnah

Hadits yang diriwayatkan dari bajjaj, yang kemudian dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah Ibn Rafi’, yang artinya berbunyi:

“Nabi SAW. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab: ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur’.”

Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu danmerugikan orang lain.

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. pun bersabda: pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, para Siddiqin dan para Syuhada’.

3. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alas an bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti (ditukar) dengan barang lainnya yang sesuai.

Hukum dan Sifat Jual-Beli

Asal hukum jual-beli adalah mubah (boleh). Namun bila ditinjau lebih jauh lagi, jumhur ulama membagi jual-beli menjadi dua macam:

1. Jual-beli kategori sah (shahih). Yaitu jual-beli yang memenuhi ketentuan syara’ baik rukun maupun syaratnya.

2. Jual-beli kategori tidak sah. Yaitu jual-beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual-beli tersebut menjadi rusak (fasid) atau batal.

Berkenaan dengan rusak dan batal, jumhur ulama berpendapat bahwa dua kata tersebut mempunyai arti yang sama. Akan tetapi, ulama Hanafi membedakan arti kedua kata tersebut. Ulama Hanafiyah membagikan jual-beli ke dalam:

  1. Jual-beli shahih, yaitu jual-beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjual-belikan menjadi milik yang melakukan akad.
  2. Jual-beli batal, yaitu jual-beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual-beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
  3. Jual-beli rusak, yaitu jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesyai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan peretntangan.

Namun demikian, perbedaan antara jumhur ulama dengan ulama hanafiyah tersebut hanyalah dalam masalah mu’amalah. Sedangkan dalam masalah ibadah mereka tetap sepakat mengenai kesamaan arti antara batal dan rusak (fasid).

Rukun dan Pelaksanaan Jual-Beli

Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli adalah Ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan

Adapun menurut jumhur ulama, rukun jual-beli itu ada empat, yaitu:

  1. Ba’i (penjual)
  2. Mustari (pembeli)
  3. Shigat (ijab dan qabul)
  4. Ma’qud ‘alaih (baenda atau barang).

Syarat Jual-Beli

Dalam jual-beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya aqad (in’iqad), syarat sahnya aqad, syarat terlaksananya aqad (nafadz), dan syarat kemestian (lujum).

Secara umum, tujuan dari adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang aqad, menghindari jual-beli gharar, dan lain-lain.

Di antara ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual-beli. Berikut pembahasan mengenai hal tersebut:

1. Menurut ulama Hanafiyah

Persyaratan yang ditetapkan ulama Hanafiyah berkaitan dengan syarat jual-beli adalah:

a. Syarat Terjadinya Aqad (In’iqad)

Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka jual-beli batal. Tentang syarat ini ulama hanafiyah menetapkan empat syarat, yakni:

1. Syarat ‘Aqid (orang yang ’aqad)

‘Aqid harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Berakal dan Mumayyiz

Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum terbagi tiga, yaitu:

§ Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah.

§ Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh anak kecil.

§ Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemudharatan, yaitu aktivitas yang boleh dilakukan tetapi atas seizing wali.

b. Aqid harus berbilang, sehingga tidaklah sah aqad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan oleh dua orang, yaitu penjual dan pembeli.

2. Syarat dalam Aqad.

Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul. Nmaun demiian, dalam ijab-qabul terdapat syarat berikut:

a. Ahli aqad

Menurut ulama Hanfiyah, seorang anak yang berakal dan mumayyiz (berumur tujuh tahun, tetapi belum baligh) dapat menjadi ahli aqad. Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah berpendapat bahwa aqad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, anak mumayyiz yang belum baligh tidak dibolehkan melakukan aqad sebab dia belum dapat menjaga agama dan hartanya (masih bodoh).

b. Qabul harus sesuai dengan ijab

c. Ijab dan qabul harus bersatu (berhubungan walaupuntempatnya tidak bersatu).

3. Tempat Aqad

Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.

4. Ma’qud ‘Alaih (Objek Aqad)

Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi empat syarat:

a. Ma’qud ‘Alaih harus ada, tidak boleh aqad atas barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual-beli buah yang tidak tampak, atau jual-beli hewan yang masih berada dalam kandunngan induknya.

b. Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.

c. Benda tersebut milik sendiri.

d. Dapat diserahkan.

b. Syarat Pelaksanaan Aqad (Nafadz)

1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk aqad

2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain.

c. Syarat Sah Aqad

Syarat ini terbagi dua, yaitu:

1. Syarat umum

Adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual-beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas tadi. Juga harus terhindar dari kecacatan jual-beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemudharatan, dan yang merusak lainnya.

2. Syarat khusus.

Adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang tertentu. Jual-beli ini harus memenuhi persyaratan berikut:

a. Barang yang diperjual-belikan harus dapat dipegang.

b. Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.

c. Serah terima benda harus dilakukan sebelum berpisah

d. Terpenuhi syarat penerimaan

e. Harus seimbang dalam ukuran timbangan pada jual beli yang demikian.

f. Barang yang diperjual-belikan sudah menjadi tanggung jawabnya.

d. Syarat Lujum (kemestian)

Syarat ini hanya ada satu, yaitu aqad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiyar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang aqad dan akan menyebabkan batalnya aqad.

2. Menurut Madzhab Maliki

Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang berkenaan dengan aqid, sighat, dan ma’qud ‘alaih, berjumlah 11 syarat:

a. Syarat Aqid

Adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini terdapat tiga syarat ditambah satu bagi penjual:

  1. Penjual dan pembeli harus mumayyiz
  2. Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
  3. Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual-beli berdasarkan paksaan tidaklah sah
  4. Penjual harus sadar dan dewasa.

Ulama Malilkiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi si aqid, kecuali dalam hal membeli hamba yang muslim atau membeli mushaf. Jual beli orang buta adalah sahih menurut pendapat mereka.

b. Syarat dalam shighat

  1. Tempat aqad harus bersatu
  2. Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah.

c. Syarat harga dan yang dihargakan.

  1. Bukan barang yang dilarang syara’
  2. Harus suci
  3. Bermanfaat menurut pandangan syara’
  4. Dapat diketahui oleh kedua orang yang aqad
  5. Dapat diserahkan.

3. Menurut Madzhab Syafi’i

Ulama syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih. Persyaratan tersebut adalah:

a. Syarat Aqid

1. Dewasa atau sadar.

Aqid harus baligh dan berakal, menyadari dan mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, aqad anak yang baelum mumayyiz dipandang belum sah.

2. Tidak dipaksa atau tanpa hak

3. Islam

4. Pembeli bukan musuh


b. Syarat shighat

1. Berhadap-hadapan (harus sesuai dengan orang yang dituju, ex: arah & namanya).

2. Ditujukan pada seluruh badan yang aqad. Tidak sah mengatakan, “saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”.

3. Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab.

4. Harus menyebutkan barang atau harga.

5. Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud).

6. Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna. Jika seseorang yang sedang bertransaksi tersebut gila sebelum mengucapkan qabul, maka jual-beli yang mereka lakukan batal.

7. Ijab dan qabul tidak terpisah.

8. Anatara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain.

9. Tidak berubah lafadz. Lafadz ijab tidak boleh berubah, seperti eprkataan, “saya jual barang ini lima ribu”, kemudian beberapa saat kemudian ia mengatakan, “saya jual barang ini sepuluh ribu”, padahal barangnya tidak berubah (sama dengan barang sebelumnya).

10. Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna.

11. Tidak dikaitkan dengan sesuatu (yang tidak ada hubungannya dengan aqad).

12. Tidak dikaitkan dengan waktu.

c. Syarat ma’qud ‘alaih

1. Suci. 4. Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.

2. Bermanfaat. 5. Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang ber’aqad

3. Dapat diserahkan.

4. Menurut Madzhab Hambali

Manurut ulama Hanbaliah, persyaratan jual-beli terdiri atas 11 syarat, baik dalam ‘aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih.

a. Syarat ‘aqid

1. Dewasa

Aqid harus orang yang dewasa (baligh dan berakal), kecuali pada jual-beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur kemaslahatan.

2. Ada keridhaan.

Masing-masing aqid harus saling meridhai, tidak ada unsur paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh mereka yang memiliki otoritas untuk itu, seperti hakim atau penguasa. Ulama Hanbaliyah menghukumi makruh bila terdapat unsur paksaan atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di luar harga lazim.

b. Syarat shighat.

1. Berada di tempat yang sama.

2. Tidak terpisah.

3. Tidak dikaitkan dengan sesuatu.

c. Syarat ma’qud ‘alaih

1. Harus berupa harta.

Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa, misalnya khamar hanyalah dibolehkan ketika susahnya mendapatkan air. Adapun jual-beli al-Qur’an, mereka mengharamkannya, karena menurut mereka al-qur’an adalah untuk diagungkan, sedangkan menjual-belikannya bukanlah mengagungkannya.

2. Milik penjual secara sempurna.

3. Barang dapat diserahkan ketika aqad

4. Barang diketahui oleh penjual dan pembeli.

5. Harga diketahui oleh kedua pihak yang ber’aqad

6. Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan aqad tidak sah (seperti adanya unsur riba).

D. Jual-Beli Yang Dilarang Dalam Islam.

Berkenaan dengan jual-beli terlarang dalam Islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut:

a. Terlarang sebab ahliah (ahli aqad)

1. Jual-beli orang gila

2. Jual-beli anak kecil

3. Jual-beli orang buta

4. Jual beli terpaksa

5. Jual-beli fudhul, jual-beli milik orang lain tanpa seizing pemiliknya

6. Jual-beli orang terhalang

7. Jual-beli malja, yaitu jual-beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan dzalim.

b. Terlarang sebab shighat.

1. Jual-beli mua’thah, yaitu jual-beli yang telah disepakati oleh pihak aqad, berkenan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab-qabul.

2. Jual-beli melalui surat atau utusan

3. Jual-beli dengan isyarat atau dengan tulisan

4. Jual-beli barang yang tidak ada di tempat aqad

5. Jual-beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul

6. Jual-beli munjidz, yaitu yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.

c. Terlarang sebab ma’qud ‘alaih

1. Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada

2. Jual-beli barang yang tidak dapat diserahkan

3. Jual-beli gharar

4. Jual-beli barang najis dan yang terkena najis

5. Jual-beli air

6. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul).

7. Jual-beli barang yang tidak ada di tempat aqad (ghaib), tidak dapat dilihat

8. Jual-beli sesuatu sebelum dipegang

9. Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan yang tidak jelas.

d. Terlarang sebab syara’

1. Jual-beli riba

2. Jual-beli dengan uang dari barang yang diharamkan

3. Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang

4. Jual-beli waktu adzan Jum’at

5. Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar

6. Jual-beli induk tanpa anaknya yang masih kecil (untuk hewan)

7. Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain